5 Oktober 2009


Menjadi “sama dan serupa” dengan remaja lain merupakan keinginan dari semua
remaja.

Saya ingat benar bagaimana sebagai seorang remaja dalam tahun 1963 saya
merasa harus memiliki sepasang sepatu sport mutakhir yang sedang “in”.

Persoalannya, bulan lalu saya baru saja membeli sepasang sepatu kulit.

Tapi, sepatu sport benar benar sedang mode, oleh sebab itu saya datang
kepada ayah minta bantuannya.

“Saya perlu sedikit uang untuk sepatu sport”, ujar saya suatu petang di
bengkel di mana ayah saya bekerja sebagai montir.

“Willie” ayah kelihatannya terkejut.

“Sepatumu baru berumur satu bulan, tapi Mengapa kini kau perlukan sepatu
baru?”

“Setiap orang memakai sepatu sport yah!”

“Sangat boleh jadi nak, Namun hal tersebut tidak menjadikan ayah mudah
membayar sepatu sport ”

Gaji ayah kecil dan sering tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari
hari.

“Ayah, saya tampak seperti bloon memakai sepatu jenis ini ” kataku sambil
menunjuk kepada sepasang sepatu oxford baru.

Ayah memandang dalam dalam ke mataku.

Kemudian ia menjawab, “Begini saja, Kau pakai sepatu ini satu hari
lagi.Besok, di sekolah, perhatikan semua sepatu dari kawan-kawanmu. Bila
seusai sekolah kau masih berkeyakinan bahwa sepatumu paling butut
dibandingkan sepatu kawan kawanmu, ayah akan memotong uang belanja ibumu dan
membelikanmu sepasang sepatu sports”

Dengan gembira saya pergi ke sekolah, keesokan paginya, penuh keyakinan
bahwa hari itu merupakan hari terakhir bagiku mamakai sepatu oxford yang
ketinggalan jaman ini.

Saya lakukan apa yang ayah perintahkan saya lakukan, namun tidak, saya
ceritakan apa yang saya lihat secara teliti.

Sepatu coklat, sepatu hitam, sepatu tennis yang sudah kusam, semua menjadi
pusat perhatianku.

Pada petang hari, saya memiliki perbendaharaan dalam ingatanku betapa
banyaknya teman teman di sekolah yang juga memakai sepatu bukan sport,
bahkan sepatu - sepatu rusak, berlobang, menganga dan lain lain bentuk yang
sudah mendekati kepunahan sebagai alat pelindung kaki.

Namun banyak juga yang memakai sepatu sport yang gagah, yang senantiasa
berdetak detik penuh gaya bila si pemiliknya menghentakkannya dengan gagah
perkasa.

Setelah sekolah usai, saya berjalan cepat ke bengkel di mana ayah bekerja.
Saya hampir yakin bahwa Senin depan saya juga akan masuk kelompok yang
sedang “in”

Setiap saya menghentakkan tumit saya di jalan, saya membayangkan telah
memakai sepatu sport idaman saya.

Bengkel sepi sekali saat itu. Suara yang terdengar hanya denting-denting
metal dari kolong sebuah chevy tua buatan tahun 1956.

Udara berbau oli, namun pada hemat penciuman saya, asyik sekali.

Hanya seorang langganan sedang menunggu ayah yang sedang bergulat di kolong
chevy tua itu.

“Pak Alva” tanya saya kepada langganan yang sedang menunggu, “masih
lamakah?”

“Entah Will. Kau tahu sifat ayahmu. Ia sedang membongkar persneling, namun
bila ia mendapatkan adanya bagian lain yang tidak beres, ia akan
menyelesaikannya juga.”

Saya bersandar pada mobil abu abu itu.

Apa yang bisa saya lihat hanyalah sepasang kaki ayah yang menjulur keluar
dari kolong mobil.

Sambil menjentik jentik lampu belakang chevy, secara tidak sadar saya
menatap kepada kaki ayah.

Celana kerjanya berwarna biru tua, kusam dan lengket terkena oli, lusuh
pula.

Sepatunya, berwarna putih tua…. ah ….bukan hitam muda……, dan sungguh
sungguh butut, sebagaimana mestinya sepatu seorang montir.

Sepatu kirinya sudah tidak bersol, dan bagian kanan masih memiliki sepotong
kecil kulit tipis, yang dahulu bernama sol. Di ujungnya, sebaris staples
menggigit kedua belah kulit kencang kencang, mencegah jempol kakinya
mengintip keluar. Tali sepatunya beriap riap, dan sebuah lubang
memperlihatkan sebagian dari jari kelingkingnya yang terbalut kaus katun.

“Sudah pulang nak? “ayah keluar dari kolong mobil.

“Yes sir” kataku.

“Kau lakukan apa yang kuperintahkan hari ini?”

“Yes sir”

“Nah, apa jawabmu ?” la memandangku, seolah olah tahu apa yang akan saya
ucapkan.

“Saya tetap ingin sepatu sport ” Saya berkata tegas, dan berusaha setengah
mati untuk tidak memandang kepada sepatu ayah.

“Kalau begitu, ayah harus potong uang belanja ibumu…..”

“Mengapa tidak pergi dan membelinya sekarang?” lalu ayah mengeluarkan
selembar $ 10. dan memancing uang receh untuk mencari 30 sen guna membayar
3% pajak penjualannya.

Saya menerima uang itu dan segera berangkat ke pusat pertokoan, dua blok
dari bengkel di mana ayah bekerja.

Di depan sebuah etalase, saya berhenti untuk melihat apakah sepatu sportku
masih dipajang disana. Ternyata masih! $9.95.

Namun uang saya tidak akan cukup bila saya harus membeli paku paku yang akan
dipakukan pada solnya dan menimbulkan suara klak klik yang gagah.

Saya pikir, untuk lari ke rumah dan minta bantuan dana dari mama, sebab
tidak mungkin kembali kepada ayah dan minta kekurangannya.

Pada saat saya teringat kepada ayah, sepatu tuanya tampak membayang
melintasi kedua mataku.

Jelas tampak kebututannya, sisinya yang compang camping, paku paku yang
telah mengintip keluar dan sebaris staples yang umumnya dipakai untuk
menjepit kertas.

Sepatu kulit usang yang dipakainya untuk menghidupi keluarganya.

Pada waktu musim dingin yang menggigit, sepatu yang sama dipakainya
melintasi jalan jalan yang dingin, menuju kepada mobil mobil yang mogok.

Namun ayah tidak pernah mengeluh.

Terpikir olehku, betapa banyaknya benda benda yang seharusnya dibutuhkan
ayah, namun tidak dimilikinya, semata mata agar saya mendapatkan apa yang
saya ingini.

Dan kementerengan sepatu sport yang ada di balik kaca etelase di hadapanku
mulai memudar.

Apa jadinya bila ayah bersikap sepertiku.

Sepatu jenis apa yang saat ini kupakai, bila ayahku bersikap seperti saya
bersikap.

Saya masuk ke dalam toko sepatu itu.

Sebuah rak besar terpampang megah, penuh berisikan sepatu sport yang sungguh
keren.

Di sampingnya, terdapat sebuah rak lain, dengan sebingkai tulisan “obral
besar. 50% discount”.

Dibawah bingkai itu tergeletak sepatu sepatu semodel sepatu ayah, beberapa
generasi lebih muda, tentunya.

Otakku bermain ping pong. Mula mula sepatu ayah yang butut.

Dan sekarang sepatu baru. Pikiran tentang: menjadi “in” dan seirama dengan
remaja lain di sekolah.

Dan kemudian pikiran tentang ayah,…. telah mengalahkannya.

Saya mengambil sepatu ukuran 42 dari rak yang berdiscount.

Dengan segera berjalan ke arah meja kasir, ditambah pajak, jadilah bilangan
$ 6.13.

Saya kembali ke bengkel dan meletakkan sepatu baru ayah di atas kursi di
mobilnya.

Saya mendapatkan ayah dan mengembalikan uang kembalian yang masih tersisa.

“Saya pikir harganya $ 9.95″ kata ayah.

“Obral” kataku pendek.

Saya mengambil sapu, dan mulai membantu ayah membersihkan bengkel.

Pukul lima sore, ia memberi tanda bahwa bengkel harus ditutup dan kami harus
pulang.

Ayah mengangkat kotak sepatu ketika kami masuk ke dalam mobilnya.

Ketika ia membuka kotak itu, ia hanya dapat memandang tanpa mengucapkan
sepatah katapun.

Ia memandang kepada sepatu itu lama-lama, kemudian kepadaku.

“Saya pikir kau membeli sepatu sport”, katanya pelan.

“Sebetulnya ayah, … tapi …. Saya tak sanggup meneruskannya.

Bagaimana saya harus menjelaskannya bahwa saya sungguh ingin menjadi
seperti ayah?

Dan bila saya tumbuh menjadi dewasa, saya sungguh ingin menjadi seperti
orang baik ini, yang Tuhan berikan kepada saya sebagai ayah saya.

Ayah meletakkan tangannya pada bahu saya, dan kami saling memandang untuk
waktu sesaat.

Tidak ada kata kata yang perlu dikatakan. Ayah menstarter mobil, dan kami
pulang.

Terima kasih Tuhan, karena engkau telah memberiku seorang ayah yang baik dan
bertanggung jawab.

A pair of Sports Shoes

Being "equal and similar" with another teenager is the desire of all
adolescents.

I remember well how as a teenager in 1963, my
feel should have a pair of sports shoes are the latest "in".

The problem, months ago I had just bought a pair of leather shoes.

But, really sports shoes is in fashion, so I came
the father asked for help.

"I need a little money for sports shoes", I said one evening in
garage where my father worked as a mechanic.

"Willie" father seemed surprised.

"new shoes a month old, but why now you need shoes
new? "

"Anyone wearing sport shoes yah!"

"It may be a boy, but it is not easy to make dad
pay for sports shoes "

Salaries small father and often not enough to make ends meet
days.

"Daddy, I look like a dumb wearing shoes of this type" I said,
pointed to a pair of new oxford shoes.

My father looked at in deep into my eyes.

Then he replied, "Tell you what, you wear these shoes one day
lagi.Besok, at school, notice all the shoes from your friends. When
after school you still believe that the most worn shoes
shoes than his comrade, father mother would cut spending and
bought a pair of sports shoes "

I am happy to go to school the next morning, full of confidence
that day was my last day of oxford shoes mamakai
This outdated.

I do what I tell my father did, but no, I
tell me what I look carefully.

Brown shoes, black shoes, tennis shoes worn, all the
center of attention.

On the evening of the day, I have the vocabulary in my memory how
many friends at school who also wear shoes rather than sport,
even shoes - shoes broken, hollow, gaping and other forms
already close to extinction as a means of gaiters.
 

But many also wear stout shoes sports, which always
Stylish seconds ticking when the owner proudly menghentakkannya
powerful.

After school ended, I walked quickly to the garage where my father worked.
I am almost sure that next Monday I will also enter the group
being "in"

Every time I stomp my heel on the road, I imagine has
My dream sports shoes.

Workshop was very quiet. The voice that sounded just clink-clink
metal from under an old chevy made in 1956.

The air smelled of oil, but the smell seems to me, great.

Only a customer is waiting for the father who is wrestling in the gutter
old chevy.
 

"Mr. Alva" asked me to subscriptions that are waiting, "still
long? "

"I do not know Will. You know the nature of your father. He was unpacking the gear, but
if he gets the other part goes wrong, he will
finish well. "

I relied on that gray car.

What can I seeonly a a pair of legs sticking out father
from under the car.

As she flicked pinched taillights chevy, I unconsciously
looked at the father's feet.

Dark blue work pants, dull and sticky exposed to oil, shabby
as well.

Shoes, old white .... ah .... ... ... instead of black youth, and indeed
really worn, as appropriate shoes a mechanic.

Soled shoes are not left already, and the right side still has a piece of
small thin skin, which formerly named sol. In the end, a line of staples
biting both taut skin tight, preventing her toes
peeking out. Beriap shoelaces increment, and a hole
shows some of the little finger is wrapped in cotton socks.

"I go home son? "father out from under the car.

"Yes sir" I said.

"You do what I tell you today?"

"Yes sir"

"Well, what thou hast?" She looked at me, as if knowing what I would
say.

"I still like sports shoes" I said firmly, and tried half
dead to not look at the father's shoes.

"Then, the father must cut spending money your mother ... .."

"Why not go and buy it now?" then dad issue
sheet of $ 10. and fishing dime to find 30 cents in order to pay
3% sales tax.

I took the money and immediately went to the mall, two blocks
from the garage where my father worked.

In front of a storefront, I stopped to see if the shoe sportku
still on display there. Apparently still! $ 9.95.

But my money would not be enough if I have to buy nail spikes that would
nailed to the soles and cause a gallant click clack sound.

I think, to run to the house and asked for funding from mama, because
not possible to return to his father and asked for the deficiency.

At the moment I am reminded of father, his old shoes seem to imagine
across both eyes.

Clearly visible kebututannya, the ragged side, nails nails
has peeked out and a line of staples that are generally used for
paper clamp.

Worn leather shoes he wore to his family.

At the time of the biting winter, wearing the same shoes
through the cold streets, toward the car that had stalled the car.

But my father never complained.

It occurred to me, how many objects that should be required
father, but not possess, merely so that I get what
my desire.

And luxury sports shoe is behind glass in front of me etelase
began to fade.

What happens if the father acted like me.
What kind of shoes I wear now, when my father acted like my behave.
I go into the shoe store.
A large rack plastered magnificent, full of sports shoes that actually contains cool.
Beside him, there is a another rack, with sebingkai words "clearance sale large. 50% discount ".
Under the frame lying semodel shoes shoes shoes father, some younger generation, of course.
My mind is playing ping pong. At first, a father who battered shoes.
And now a new shoe. Thoughts about: the "ins" and in tune with other teenagers at school.
And then the thought of my father, .... already beat him.
I take size 42 shoes off the shelf that berdiscount.
By immediately walked toward the counter, plus tax, be a number $ 6.13.
I went back to the garage and putting new shoes on the chair's father car.
I get the father and return the remaining money returned.
"I think the price is $ 9.95" said the father.
"Sale" I said curtly.
I took the broom, and began helping his father clean the garage.
At five in the afternoon, he gave a sign that the garage should be closed and we must home.
Dad picked up a shoe box when we get into his car.
When he opened the box, he could only look without saying a word.
He looked at the shoes were too long, then to me.
"I think you buy sports shoes", he said quietly.
"Actually, dad, ... but .... I was unable to continue.
How should I explain that I really wanted to be like father?
And when I grow up, I really want to be like This good man, which God gave to me as my father.
My father put his hand on my shoulder, and we looked at each other for moment.
There are no words to say. Dad started the car, and we home.
Thank God, because you have given me a good father and responsible.
  





http://www.motivasi.web.id/?p=23